Sabtu

MARXISME IV

(Sumber: Dibawah Bendera Revolusi)

Bahwa sesungguhnya, luhurlah sikap H. G. Wells, seorang penulis asal Inggris, seorang bukan Komunis, dimana ia dengan tidak memihak siapapun, dengan tegas mengatakan bahwa, “Seandainya Kaum Bolshevik itu tidak di rintangi, mereka mungkin mampu menyelesaikan suatu eksperimen yang sangat besar manfaatnya bagi perikemanusiaan……. Sayangnya, mereka di halang-halangi”

Kita yang bukan Komunis pula, kita tidak memihak siapapun juga! Kita hanya memihak pada Perasatuan Indonesia, kepada persahabatan kita semua!

Telah disebutkan bahwa taktik Marxisme yang sekarang berbeda dengan yang dulu. Taktik Maxisme yang dulu sikapnya begitu sengit terhadap kebangsaan dan keagamaan. Maka sekarang, terutama di Asia, telah begitu berubah sehingga kebencian ini telah berbalik menjadi persahabatan dan persekutuan. Telah kita lihat persahabatan antara Marxis dengan Nasionalis di China, juga telah kita persahabatan antara Marxis dengan Islamis di Afganistan.

Adapun teori Marxisme telah berubah pula. Memang seharusnya begitu! Marx dan Engels bukan nabi yang dapat menulis aturan-aturan yang dapat digunakan sepanjang masa.

  • Teori-teorinya harus dirubah, bersamaan dengan perubahan zaman.
  • Teori-teorinya harus diikutsertakan pada perubahan dunia jika tidak ingin tertinggal. Marx dan Engels sendiripun mengerti akan hal ini.
  • Dalam tulisan-tulisannya, merekapun sering menunjukan perubahan paham atau perubahan mengenai kejadian-kejadian pada saat mereka masih hidup. Bandingkan pendapat-pendapatnya hingga Tahun 1847.
  • Badingkanlah pendapatnya tentang arti “Verelendung” sebagai mana termaksud dalam Manifest of Communism dengan Das Kapital.
Maka segera terlihat perubahan paham atau perubahan perindahan itu. Bahwasannya, benarlah pendapat seorang Sosial-Demokrat, Emile Vandervelde, dimana ia mengatakan bahwa, “revisionism itu tidak dimulai dengan Bernstein, namun dengan Marx dan Engels”.

Perubahan taktik dan teori itulah yang menjadi sebab, maka kaum Marxis muda baik yang lembut maupun yang keras, terutama di Asia, bersama-sama mendukung pergerakan Nasional yang sungguh-sungguh. Mereka mengerti bahwa negeri-negeri di Asia, dimana belum terdapat Kaum Proletar dalam arti sebagai di Eropa atau Amerika, pergerakannya harus diubah sifatnya sesuai dengan pergaulan hidup di Asia. Mereka mengerti bahwa pergerakan Marxis di Asia haruslah berlainan taktik dengan pergerakan marxis di Eropa atau Amerika, dan harus bekerja sama dengan partai-partai “Klein-burgerlijk”, karena disini yang terutama bukan kekuasaan melainkan perlawanan terhadap feodalisme.

Agar Kaum Buruh di negeri Asia dengan leluasa dapat menjalankan pergerakan sosialis secara sungguh-sungguh, maka penting bagi negeri-negeri itu untuk merdeka, penting bagi mereka untuk memiliki otonomi nasional. Menurut Otto Bauer, “otonomi nasional adalah suatu arah yang harus dituju oleh perjuangan proletar, karena terdapat suatu upaya yang penting bagi politiknya”. Itulah sebabnya, maka;

  1. otonomi nasional ini menjadi suatu hal yang pertama kali harus di usahakan oleh pergerakan-pergerakan Kaum Buruh di Asia.
  2. Kaum buruh di Asia wajib bekerja sama dan saling dukung merebut otonomi nasional dengan tidak melihat asas apa yang melandasi pergerakan-pergerakan itu.
  3. Pergerakan Marxisme di Indonesia harus pula mendukung pergerakan-pegerakan Nasionalis dan Agamis.

baca selengkapnya....